Kaidah Ke. 29 : Memahami Keumuman dan Kekhususan Sebuah Kalimat
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Sembilan
يَجِبُ تَقْيِيْدُ اللَّفْظِ بِمُلحَقَاتِهِ مِنْ وَصْفٍ، أَوْشَرْطِ، أَوِاسْتِشْنَاءٍ، أَوْ غَيْرِهَامِنَ الْقُيُوْدِ
Wajib Mengaitkan Perkataan Dengan Hal-Hal Yang Mengikatnya, Seperti Sifat, Syarat, Pengecualian Atau Pengikat Lainnya.
Kaidah ini menjelaskan tentang pentingnya memahami dan menerapkan konsekuensi perkataan yang bersyarat. Apabila sebuah perkataan bersifat umum, maka dipahami umum. Namun, jika sebuah perkataan dikaitkan dengan sesuatu, maka dipahami sesuai kaitannya tersebut [1]. Kaidah ini secara umum telah diketahui dan dikenal, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa lainnya.
Kaidah ini bisa diterapkan dalam memahami firman Allah Azza wa Jalla, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan semua orang. Banyak permasalahan yang masuk dalam penerapan kaidah ini, baik berkaitan dengan akad bisnis ataupun tabarru’ (nirlaba), persyaratan wakaf, wasiat, pembebasan budak, talaq, sumpah dan selainnya.
Kaidah ini mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara contohnya.
1. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat. [2]
2. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.
3. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.
4. Dalam hadits dijelaskan bolehnya mengusap khuf (sepatu bot atau yang sejenisnya) ketika berwudhu. Pembolehan ini disebutkan secara mutlaq (umum), misalnya dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
جَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ يَعْنِي فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim, yakni tentang mengusap dua khuf. [3]
Dalam masalah ini, sebagian ulama menyebutkan beberapa syarat khusus terkait kondisi khuf. Namun syarat-syarat tersebut tidak ada dalil khusus yang menjelaskannya [4]. Misalnya , syarat khuf yang boleh diusap sebagai ganti dari mencuci kaki adalah khufnya tidak bercelah (berlobang) yang menyebabkan telapak kaki terlihat. Penentuan syarat-syarat tersebut kurang tepat, karena pembolehannya disebutkan secara umum. Mengkhususkan sesuatu yang disebutkan secara umum oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beresiko menimbulkan kesulitan kepada hamba Allah Azza wa Jalla dalam hal-hal yang diberi keleluasaan oleh Allah Azza wa Jalla.
5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mengkonsumsi daging unta termasuk pembatal wudhu, seperti dalam hadits riwayat Abu Sawud rahimahullah :
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنِ الْوُضُوْءِمِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ فَقَالَ : تَوَضَّؤُوامِنْهَا
Dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang berwudhu (setelah selesai) dari makan daging unta, maka beliau bersabda : berwudhulah darinya.[5]
Yang terpahami dari hadits ini adalah makan daging unta bisa membatalkan wudhu, baik daging unta yang masih mentah atau sudah matang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan makan daging unta secara umum [6]. Dan perkataan yang datang secara umum, kita pahami sesuai keumumannya kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Dan perkataan yang datang secara khusus maka dipahami sesuai kekhususannya.
6. Tentang pembebasan budak kaffarah (denda) pembunuhan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (tidak sengaja, maka hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. [an-Nisa/4:92]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa hamba sahaya yang dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman. Maka tidak boleh membayar kaffarah pada kasus pembunuhan dengan membebaskan budak non muslim. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengkhususkan budak yang beriman pada ayat ini. Dan hal-hal yang telah dijelaskan kekhususannya maka wajib difahami sesuai kekhususannya tersebut [7].
Dalam pembahasan kaidah ini, perlu dipahami bahwa adakalanya sebuah perkataan dihukumi bersifat khusus meskipun secara lahiriah bersifat umum, karena ada sebab tertentu yang menuntut demikian. Marilah kita perhatikan contoh-contoh kasus berikut.
1. Apabila seorang suami melihat isterinya berbincang dengan lelaki lain. Lalu si suami tersebut mentalaq isterinya karena menyangka bahwa lelaki itu bukan mahram isterinya. Setelah dia tahu bahwa lelaki tersebut adalah mahram isterinya. Maka dalam kasus ini, talaqnya tidak jatuh. Meskipun talaq yang diucapkan suami bersifat umum tetapi dihukumi secara khusus karena sebab tertentu. Dalam kasus ini, suami mentalaq isterinya karena mengira lelaki yang berbincang-bincang dengan isterinya itu bukan mahramnya, namun ternyata dugaan itu tidak terbukti.
2. Apabila Ahmad bersumpah tidak akan bertegur sapa dengan Zaid karena mengira Zaid adalah orang yang telah menzhaliminya. Kemudian terbukti bukan Zaid. Apabila kemudian Ahmad menyapa Zaid, maka dalam kasus ini, Ahmad tidak dihukumi telah melanggar sumpah. Meskipun sumpah yang diucapkan Ahmad tersebut secara lahiriah bersifat umum, namun dihukumi khusus karena sebab tertentu [8].
Berkaitan dengan pembahasan kaidah ini pula, para Ulama menjelaskan bahwa pengkhususan suatu perkataan diterima apabila tidak bertentangan dengan ketentuan syar’i, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Jika bertentangan dengan ketentuan syar’i maka pengkhususan tersebut tidak bisa diterima [9]. Dengan demikian bisa dipahami, apabila seseorang mewakafkan hartanya khusus untuk pelaku kebid’ahan, atau untuk orang yang berbuat maksiat, atau khusus untuk pengikut madzhab tertentu maka persyaratan dan pengkhususan semisal itu tidaklah dianggap. Wallahu a’lam[10].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, Imam Muhammad bin Ali Ay-Syaukani, Tahqiq Abu Hafs Sami bin al-Arabi al-Atsari. Cet.1 Tahun 1421H/2000M Darul Fadhilah hlm.711
[2]. Lihat Syarhul Qawaa’id As-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil. Dar Athlas al Kahadhra’, hlm.192
[3]. HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah, bab at-Tauqif fil Mashi’alal Khuffaini, no. 85
[4]. Lihat as-Syarhul Mumti (1/232-233). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.cet.1 Tahun 1422H. Dar Ibnil Jauzi.
[5]. HR Abu Daud dalam Kitabut Thaharah, bab al Wudhu min Luhumil Ibil, no. 184. Hadits ini dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam shahih sunan At-Tirmidzi no. 81
[6]. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan daging unta yang membatalkan wudhu adalah apabila daging tersebut masih mentah, adapun makan daging unta yang telah dimasak maka tidak membatalkan wudhu. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/397-398 Cet Ke-2 1404H/1983M Wizaratul Auqaf was Syu-un al-Islamiyah. Kuwait
[7]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 38/122-123
[8]. Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah terhadap kitab al-Qawa’id wal Ushulul Jami’ah wal Furuq wat Taqasimul Badi’atun Nafi’ah. Cet. Ke-1 tahun 2002M. Maktabah as-Sunnah. Kairo hlm. 138-139
[9]. Lihat Syarhul Qawa’id as Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas al Kahadhra lil Nasyri wat Tauzi hlm. 196
[10]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîmil Badî’ah an-Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 80. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3690-kaidah-ke-29-memahami-keumuman-dan-kekhususan-sebuah-kalimat.html